Syair: Buku Favorit - Di Hadapan Rahasia

Buku Favorit - Di Hadapan Rahasia - Hallo sahabat puisi,pengertian dari syair dan contoh ragam syair,pengertian syair dan pantun pengertian puisi syair serta pengertian dan contoh syair cuivre, Puisi, baca lagi di Pengertian syair Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Buku Favorit - Di Hadapan Rahasia, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Buku Favorit - Di Hadapan Rahasia
link : Buku Favorit - Di Hadapan Rahasia

Baca juga: sapiens, Pengertian syair


Buku Favorit - Di Hadapan Rahasia

Buku Puisi Di Hadapan Rahasia karya Adimas Immanuel adalah buku puisi favorit saya. Bisa dibilang, dari semua buku bacaan yang saya miliki baik itu fiksi maupun non-fiksi, buku ini adalah primadonanya. Komik kesukaan saya sekelas Detektif Conan harus ikhlas posisinya diganti dengan Di Hadapan Rahasia (hahaha gomen Conan-kun). Bahkan saya sempat berpikir untuk membeli lagi buku kak Adimas ini kalau-kalau suatu hari nanti buku yang satu lagi lecet, robek, kena tumpahan minyak atau terselip remah-remah biskuit.



Apa yang membuat saya terdorong untuk menarik buku Di Hadapan Rahasia dari rentetan buku ke meja kasir Gramedia? Semua bermula dari aktivitas di media sosial, twitter. Waktu itu saya sedang menikmati cerita-cerita fiksimini yang diselenggarakan lewat akun bersimbol burung itu. Saya mengikuti beberapa akun yang menurut saya bisa menyegarkan lini masa. Kemudian mulai stalk akun yang mereka follow dan stalk lagi akun-akun yang saya rasa menarik hingga sampailah di akun @.adimasnuel. Cuitan-cuitannya beda. Bak kalimat-kalimat filsuf; mendalam dan indah. Kata-katanya tidak biasa tapi diangkat dari hal-hal lumrah. Sangat berbeda dengan penyair lain. Sekarang ini, banyak penyair dadakan muda dengan segala kata puitis (termasuk saya sendiri, penulis amatir yang terlalu memaksakan diri berkata puitis) tapi terlalu membosankan. Sejak saat itu saya 'jatuh cinta' pada tulisan pertama termasuk kagum dengan sosok Adimas Immanuel ini (meskipun pada saat itu saya tidak melihat wajahnya) dan memutuskan mengikutinya di twitter.

Masih tenggelam dengan rasa penasaran, saya cari dia di akun Facebook. Kalau tidak salah ada 2 akun yang mengatas namakan Adimas Immanuel tapi akun itu sudah terbengkalai, dan lagi-lagi saya mendapati kata-kata yang memang layak untuk dibaca. Beruntung, awal tahun 2016 Adimas meluncurkan buku puisi terbarunya, Di Hadapan Rahasia. Saya tak menyia-nyiakan kesempatan untuk membaca karya dari seorang yang saya kagumi itu.

yeah I got it!


11 Maret 2016, akhirnya resmi memiliki buku Di Hadapan Rahasia. Malamnya saya langsung memotret dan upload di twitter, tak lupa juga mention akun sang penyair. Bahagianya, mention saya dibalas oleh sang penyair. Beberapa bulan ini mention saya sering di retweet dan dibalas (tadinya mau pamer buktinya sertakan di sini tapi sayangnya, sejak beberapa hari lalu tidak bisa masuk twitter karena ada masalah kecil. okelah, saya tidak mau sok tegar  ada masalah besar.

Dilihat dari sampulnya, hanya ada arsiran sosok lelaki menengadah. Entah baru saja menanam rahasia atau dihajar oleh rahasianya sendiri..hehe. Lelaki ini tidak memakai busana, pada halaman tertentu juga terselip gambar tumit, lengan, bagian dada hingga leher. Leher tampil beberapa kali, kalau ditelaah ilustrasi itu menunjukkan bahwa manusia 'telanjang' di hadapan rahasia. tak ada yang bisa disembunyikan. Ini tercantum dalam puisi penutup dengan judul yang sama. Begini kalimatnya ' Seperti kita manusia yang amat kecil di hadapan rahasia, yang tak sepenuhnya berkuasa atas jatuh-bangun kita.'

Belakangan ini saya hanya disuapi puisi yang terinspirasi dari kisah cinta dan pengalaman hidup. Tapi puisi dalam buku-buku ini terinspirasi dari lukisan, musik, dan game. Sungguh.. buku ini adalah oase di tengah padang pasir. Mungkin tulisan ini berlebihan, tapi itulah alasan saya mengagumi Adimas Immanuel dan tulisannya, mereka punya sesuatu yang lebih.

Tapi ada penyesalan juga, kenapa baru tahu sekarang kalau ada penyair dengan kata-kata yang tidak banal seperti kak Adimas ini? Buku-buku terdahulunya seperti Empat Cangkir Kenangan (kolaborasi bersama 3 rekannya) dan Pelesir Mimpi sudah tidak tersedia lagi di Toko Buku. Karya terbarunya ,Suaramu Jalan Pulang Yang Ku Kenali bahkan hanya beredar di Malaysia, bisa didapatkan di Indonesia kecuali melalui pesan online.


Sang ilustrator cover juga tak kalah keren. Di bawah ini adalah potret usaha saya menggambar kembali cover yang dibuat Chenka Sp.

melantai.. biar kayak peserta lomba nomor 76929


inilah hasilnya.. maklum, masih amatir ✌



Berikut saya sertakan puisi-puisi yang saya favoritkan. Sontrot adalah masterpiece-nya di buku ini.


Études-Tableaux

Aku dialirkan tubuhku ke tubuhmu agar tahu seperti apa
wajah dunia jika tak mengenal cakrawala, agar rasa laparku
kehilangan nafsu karena telah tuntas pengembaraannya:
ia tak bersekat darimu.

Namun angin yang bersarang dalam paru-paruku gamang
memilih akan menuju pembuluh darah yang mana. Sungguh,
ia hanya ingin berkunjung dan menanyakan kabarmu,
siapa tahu rindu yang purba berpapasan di pernapasan.



Isle of the Dead

Bahkan ombak di perairan ini
tak berani mendengar riak sendiri.
Waktu membenamkan detik
di palung paling dasar,
tak terjangkau lampu suar.

Batu nyawa dilempar,
lima kali kecipak air didengar.
Sosok putih itu membuka gerbang
seolah tahu ada yang menantinya:
kehidupan dan kematian sudah
semalam suntuk bergantian jaga.

Sementara kita masih tersaruk-saruk
di gelap rimba, masih keras kepala
menunjukkan siapa paling sia-sia
dalam cinta

Sontrot

Kau selalu bercerita ceri manis rasanya.
Dengan huruf 'r' kabur, membentur lantur:
"Apa mungkin aku masih mengenalmu?
Atau aku hanya terlalu yakin mengenalmu?

Kau bercerita pohon poplar agung batangnya
dan warna kelopak peoni mendamaikan mata.
Aku mencoba mengerti dan mengangguk saja
sebab yang kupunya hanya sawo dan mangga.

Kau bisa menyihirku dengan ribuan cerita
tentang salju dan negeri bersungai keju,
tapi jika kelak hidup kehilangan sihirnya,
cintaku masih jalan setapak berbatu itu.
Masih halaman penuh daun mangga layu.


Sakal

Kesedihan menyelinap dari mana?
Padahal pintu telah kukunci
tirai dan jendela telah kututup
lampu-lampu telah kupadamkan,
tapi tetap saja waktu
bisa mencurimu dariku.

Inersia

Sebab jika kita pikirkan lagi,
percakapan-percakapan kita belum
penuh, bibir penuh cawan seperti ingatan
yang begitu rawan, maka mengingatmu
sesungguhnya adalah caraku melupakan
sekaligus meluapkan engkau.

Tetapi keheningan telah mengakar
dan punya buhulnya sendiri, maka
maafkanlah, jika isyarat tak kuartikan
seperti matahari memantul di sudut genis.

Sebab jika kita pikiran lagi,
celoteh dan kekeh kita telah rontok
bersama menyembulnya kepedihan
dari putih belulang di punggungmu,
maka bertahanlah, tetap bertuhanlah!

Dunia akan menyembuhkan kita, janjiku.
kenangan itu ruam, tetapi ia akan rontok
seperti selundang pinang asal kesetiaan
tetap bergolak di masa-masa belia kita.

Kau perlu tahu, di bawah kulit ari ini,
masih tersimpan berlapis-lapis bahasa,
yang akan hangatkan kita dari kematian!

Aku hanya ingin duduk denganmu
bertahun-tahun, menerjang sapuan
waktu, hingga sepi hijrah ke tubuh ini.

Sebab jika kita pikirkan lagi,
pada akhirnya memang hanya
ketiadaan  kata-katalah yang
akan memenuhkan piala
dan meluapkan masa tua kita.


Senja Yang Teramat Merah Menyimpan Semuanya

Laut terus menciumi pantai
melalui daya ombaknya. Ia bahagia meski
mungkin cintanya tak pernah sampai.

Senja yang teramat merah melihat dan
mengawasi kita yang masih menerka-menerka:
siapa yang jadi laut, siapa yang jadi pantai
siapa yang pasang-surut, siapa yang sedia landai.

Senja teramat merah menyimpan amarah
di antara lemah dan lelah kita: sebuah cerita
untuk dibaca dan ditulis ulangi pagi yang lain.


Requiem

Katamu Tuhan tinggal dalam diri, 
tapi kau berdoa menatap langit
tak menunduk menatap tubuh.
Seolah Tuhan begitu jauh.


Ada yang tak bisa saya sertakan, seperti Burjamhal, Iras, The Miserly Knight, Di Bawah Pohon Mahoni, Suwung, Doa Cacing, Geffen, Taswir dan Sepeda Tua.




Demikianlah Artikel Buku Favorit - Di Hadapan Rahasia

Sekianlah artikel Buku Favorit - Di Hadapan Rahasia kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.

Anda sekarang membaca artikel Buku Favorit - Di Hadapan Rahasia dengan alamat link Sapiens
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url